Orang-orang
eropa mengubah penjelajahan menjadi penjajahan. Melalui penjelajahan yang
dilakukanya, orang eropa mengetahui kelemahan negara-negara yang dilaluinya.
Mereka berhasil menguasai negara-negara di Asia da Afrika. Kondisi yang
demikian memaksa para pemikir Islam untuk berpikir guna mengembalikan balance
of power. Mulailah timbul hal yang disebut pemikiran dan pembaharuan dalam
Islam. Para pemikir Islam berusaha menemukan cara agar umat Islam mencapai
kondisi sebagaimana periode Klasik. Melalui berbagaii pemikiran para tokoh dan
pemuka Islam mulai bergerak keluar dari kegelapan.
Tokoh-tokoh
yang memelopori gerakan pembaharuan dunia Islam, antara lain: Muhammad bin
Abdul Wahab, Syah Waliyullah, Muhammad Ali Pasya, Al- Tahtawi, Jamaludin
Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Sayyid Ahmad Khan, dan Sultan Mahmud
II. Fazlur Rahman
1. Muhammad bin Abdul Wahab
Di
Arabia timbul suatu aliran Wahabiyah, yang mempunyai pengaruh pada pemikiran
pembaharuan di abad ke-19. Pencetusnya ialah Muhammad bin Abdul Wahab
(1703-1787) yang lahir di Uyainah, Nejd, Arab Saudi. Setelah menyelesaikan
pelajarannya di Madinah ia pergi merantau ke Basrah dan tinggal di kota ini
selama empat tahun. Selanjutnya ia pindah ke Bagdad dan di sini ia menikah
dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian, setelah istrinya meninggal
dunia, ia pindah ke Kurdistan, selanjutnya ke Hamdan, dan ke Isfahan. Di Kota
Isfahan, ia sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah bertahun-tahun
merantau, ia akhirnya kembali ke tempat kelahirannya di Nejed.
Pemikiran
yang dicetuskan Muhammad bin Abd Wahab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam
timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di
Kerajaan Utsmani dan Kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap paham
tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu. Kemurnian paham
tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad
ketiga belas memang tersebar luas di dunia Islam.
Soal
tauhid memang merupakan ajaran paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak
mengherankan kalau Muhammad bin Abd Wahhab memusatkan perhatian pada soal ini.
Ia berpendapat seperti berikut:
a. Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah
Swt., dan orang yang menyembah selain Allah Swt. telah menjadi musyrik dan
boleh dibunuh.
b.
Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena
mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Allah, tetapi dari syekh atau wali
dari kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik.
c. Menyebut nama nabi, syekh, atau malaikat
sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik.
d. Meminta syafa’at selain dari kepada Allah
Swt. adalah juga syirik.
e. Bernazar kepada selain dari Allah Swt. juga
syirik.
f. Memperoleh pengetahuan selain dari al-Qur’an,
hadis dan qias (analogi) merupakan kekufuran.
g. Tidak percaya kepada qada dan qadar Allah
Swt. juga merupakan kekufuran.
h. Demikian pula menafsirkan al-Qur’an dengan
ta’wil (interpretasi bebas) adalah kufur.
Pemikiran-pemikiran
Muhammad bin Abd Wahhab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran
pembaharuan di abad ke-19 antara lain seperti berikut:
a. Hanya al-Qur’an dan hadislah yang merupakan
sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
b. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
c. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.
2. Syah Waliyullah
Syah
Waliyullah dilahirkan di Delhi pada tanggal 21 Februari 1703 M. Ia mendapatkan
pendidikan dari orang tuanya, Syah Abd Rahim, seorang sufi dan ulama yang
memiliki madrasah. Setelah dewasa, ia kemudian turut mengajar di madrasah itu.
Selanjutnya, ia pergi naik haji dan
selama satu tahun di Hejaz ia sempat belajar pada ulama-ulama yang ada di
Mekkah dan Madinah. Ia kembali ke Delhi pada tahun 1732 dan meneruskan pekerjaannya
yang lama sebagai guru. Di samping itu, ia gemar menulis buku dan banyak
meninggalkan karya-karyanya, di antaranya buku Hujjatullah Al-Baligah dan Fuyun
Al-Haramain.
Di
antara penyebab yang membawa kepada kelemahan dan kemunduran umat Islam menurut
pemikirannya adalah sebagai berikut:
a. Terjadinya perubahan sistem pemerintahan
Islam dari sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan.
b. Sistem demokrasi yang ada dalam kekhalifahan
diganti dengan sistem monarki absolut.
c. Perpecahan di kalangan umat Islam yang
disebabkan oleh berbagai pertentangan aliran dalam Islam.
d. Adat istiadat dan ajaran bukan Islam masuk
ke dalam keyakinan umat Islam.
Di
zaman Syah Waliyullah, penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa asing masih
dianggap terlarang. Tetapi, ia melihat bahwa orang di India membaca al-Qur’an
dengan tidak mengerti isinya. Pembacaan tanpa pengertian tak besar faedahnya
untuk kehidupan duniawi mereka. Ia melihat perlu al-Qur’an diterjemahkan ke
dalam bahasa yang dapat dipahami orang awam. Bahasa yang dipilihnya ialah
bahasa Persia yang banyak dipakai di kalangan terpelajar Islam India di ketika
itu. Penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Persia disempurnakan Syah
Waliyullah di tahun 1758. Terjemahan itu pada mulanya mendapat tantangan,
tetapi lambat laun dapat juga diterima oleh masyarakat. Karena masyarakat telah
mau menerima terjemahan, putranya kemudian membuat terjemahan ke dalam bahasa
Urdu, bahasa yang lebih umum dipakai oleh masyarakat Islam India daripada
bahasa Persia.
3. Muhammad Ali Pasya
Muhammad
Ali Pasya lahir di Kawala, Yunani pada tahun 1765 M adalah seorang keturunan
Turki dan meninggal di Mesir pada tahun 1849 M. Sebagaimana raja-raja Islam
lainnya, Muhammad Ali juga mementingkan soal yang bersangkutan dengan militer.
Ia yakin bahwa kekuasaannya hanya dapat dipertahankan dan diperbesar dengan
kekuatan militer. Di samping itu, ia mengerti bahwa di belakang kekuatan
militer mesti ada kekuatan ekonomi yang sanggup membelanjai pembaharuan dalam
bidang militer, dan bidang-bidang yang bersangkutan dengan urusan militer.
Jadi, ada dua hal yang penting baginya, kemajuan ekonomi dan kemajuan militer.
Kedua hal tersebut menghendaki ilmu-ilmu modern yang telah dikenal orang di
Eropa.
Ide
dan gagasan Muhammad Ali Pasya yang sangat inovatif pada zamannya antar lain
bahwa, untuk mendirikan sekolah-sekolah modern dan memasukkan ilmu-ilmu modern
dan sains ke dalam kurikulum. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian yang dikenal
sebagai sekolah modern di Mesir pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Saat
itu Mesir masih mempunyai sistem pendidikan tradisional, yaitu kuttab, masjid,
madrasah, dan jami’ al-Azhar. Sementara itu ia melihat jika ia memasukkan
kurikulum modern ke dalam lembaga pendidikan tradisional tersebut, sangat
sulit. Oleh karena itulah, ia mengambil jalan alternatif dengan cara mendirikan
sekolah modern di samping madrasah-madrasah tradisional yang telah ada pada
masa itu masih tetap berjalan.
4. Al-Tahtawi
Rifa’ah Baidawi Rafi’ Al-Tahtawi demikian nama
lengkapnya. Ia lahir pada tahun 1801 M di Tahta, suatu kota yang terletak di
Mesir bagian selatan dan meninggal di Kairo pada tahun 1873 M. Ketika Muhammad
Ali mengambil alih seluruh kekayaan di Mesir, harta orang tua Al-Tahtawi
termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya
dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo
untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu, ia selesai dari
studinya di Al-Azhar pada tahun 1822 M.
Beberapa
pemikirannya tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a. Ajaran Islam bukan hanya mementingkan soal
akhirat, tetapi juga soal hidup di dunia. Umat Islam juga harus memperhatikan
kehidupan dunia.
b. Kekuasaan raja yang absolut harus dibatasi
oleh syariat, raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum intelektual.
c. Syariat harus diartikan sesuai dengan
perkembangan modern.
d.
Kaum ulama harus mempelajari filsafat
dan ilmu pengetahuan modern agar syariat dapat menyesuaikan diri dengan
kebutuhan masyarakat modern.
e. Pendidikan harus bersifat universal, misalnya
wanita harus memperoleh pendidikan yang sama dengan kaum pria. Istri harus
menjadi teman dalam kehidupan intelektual dan sosial.
f. Umat Islam harus dinamis dan meninggalkan
sifat statis.
5. Jamaludin Al-Afgani
Jamaludin
lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istambul pada tahun
1897. Ketika baru berusia dua puluh dua tahun, ia telah menjadi pembantu bagi
Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasihat
Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan
menjadi perdana menteri. Dalam pada itu, Inggris mulai mencampuri soal politik
dalam negeri Afghanistan dan dalam
pergolakan yang terjadi Al-Afgani memilih pihak yang melawan golongan
yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Al-Afgani merasa lebih aman
meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869.
Beberapa
pemikiran Jamaludin Al-Afgani tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a. Kemunduran umat Islam tidak disebabkan
karena Islam tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi.
Kemunduran itu disebabkan oleh berbagai faktor.
b. Untuk mengembalikan kejayaan pada masa lalu
dan sekaligus menghadapi dunia modern, umat Islam harus kembali kepada ajaran
Islam yang murni dan Islam harus dipahami dengan akal serta kebebasan.
c. Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus
diganti dengan pemerintahan demokratis. Kepala negara harus bermusyawarah
dengan pemuka masyarakat yang berpengalaman.
d. Tidak ada pemisahan antara agama dan
politik. Pan Islamisme atau rasa solidaritas antarumat Islam harus dihidupkan
kembali
6. Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh dilahirkan di Mesir pada tahun 1849 M. Bapaknya bernama Abduh Hasan Khaerullah,
berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal dari bangsa
Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar Ibn Al-Khattab.
Pada
tahun 1866 M, Muhammad Abduh meneruskan studinya ke Al-Azhar. Sewaktu masih
belajar di Al-Azhar, Jamaludin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke
Istambul. Di sinilah Muhammad Abduh untuk pertama kalinya bertemu dengan
Jamaludin Al-Afghani. Dalam pertemuan itu, Jamaludin Al-Afghani mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mengenai arti beberapa ayat al-Qur’an. Kemudian, ia
berikan tafsirannya. Perjumpaan ini meninggalkan kesan yang baik dalam diri
Muhammad Abduh.
Ketika
Jamaludin Al-Afghani datang pada tahun 1871 untuk menetap di Mesir, Muhammad
Abduh menjadi muridnya yang paling setia. Ia mulai belajar falsafat di bawah
pimpinan Jamaludin Al-Afghani. Di masa ini, ia telah mulai menulis
karangan-karangan untuk harian Al-Ahram yang pada waktu itu baru saja
didirikan.
Pada
tahun 1877, studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar Alim. Ia mulai
mengajar, pertama di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya
sendiri. Di antara buku-buku yang diajarkannya ialah buku akhlak karangan Ibn
Miskawaih, Mukaddimah Ibn Khaldun, dan sejarah Kebudayaan Eropa karangan
Guizot, yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857.
Sewaktu Jamaludin Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karena dituduh
mengadakan gerakan menentang Khedewi Tawfik, Muhammad Abduh yang juga dipandang
turut campur dalam soal ini, dibuang keluar kota Kairo. Tetapi di tahun 1880 ia
boleh kembali ke ibu kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar
resmi pemerintah Mesir.
Adapun
ide-ide pembaruan Muhammad Abduh yang membawa dampak positif bagi pengembangan
pemikiran Islam adalah sebagai berikut:
a.
Pembukaan pintu ijtihad. Menurut Muhammad Abduh, ijtihad merupakan dasar
penting dalam menafsirkan kembali ajaran Islam.
b. Penghargaan terhadap akal. Islam adalah
ajaran rasional yang sejalan dengan akal sebab dengan akal, ilmu pengetahuan
akan maju.
c. Kekuasaan negara harus dibatasi oleh
konstitusi yang telah dibuat oleh negara yang bersangkutan.
7. Rasyid Rida
Rasyid
Rida adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di
Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari Kota Tripoli
(Suria). Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi
Muhammad saw. Oleh karena itu, ia memakai gelar Al-Sayyid di depan namanya.
Semasa kecil, ia dimasukkan ke madrasah tradisional di al-Qalamun untuk belajar
menulis, berhitung dan membaca al- Qur’an. Pada tahun 1882, ia meneruskan
pelajaran di Madrasah Al-Wataniah Al- Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di
Tripoli. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki
dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga
pengetahuan-pengetahuan modern.
Sekolah
ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah
dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di masa itu sekolah-sekolah misi Kristen telah
mulai bermunculan di Suria dan banyak menarik perhatian orang tua untuk
memasukkan anak-anak mereka belajar di sana. Dalam usaha menandingi daya tarik
sekolah-sekolah misi inilah, maka Al-Syaikh Husain Al-Jisr mendirikan Sekolah
Nasional Islam tersebut. Karena mendapat tantangan dari pemerintah Kerajaan
Utsmani, umur sekolah itu tidak panjang.
Rasyid
Rida meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli.
Tetapi dalam pada itu, hubungan dengan Al-Syaikh Husain Al-Jisr berjalan terus
dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya, ia
banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh
melalui majallah Al-Urwah Al-Wusá¹a. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan
Al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh
berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa
dan berdialog dengan murid Al-Afghani yang terdekat ini. Perjumpaan-perjumpaan
dan dialognya dengan Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya.
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang diperolehnya dari Al- Syaikh Husain
Al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide Al-Afghani dan Muhammad
Abduh amat memengaruhi jiwanya.
Ia
mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Suria,
tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak Kerajaan Utsmani. Ia merasa
terikat dan tidak bebas. Oleh karena itu, ia memutuskan pindah ke Mesir, dekat
dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898, ia sampai di negeri gurunya
ini.
Beberapa
bulan kemudian, ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, Al-Manar. Di
dalam nomor pertama, dijelaskan bahwa tujuan Al-Manar sama dengan tujuan
Al-Urwah Al-Wusá¹a, antara lain mengadakan pembaharuan dalam bidang agama,
sosial, dan ekonomi, memberantas takhyul dan bid’ah-bid’Ã h yang masuk ke dalam
tubuh Islam, menghilangkan paham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat
Islam, serta paham-paham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawuf,
meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik
negara-negara Barat.
Majalah
ini banyak menyiarkan ide-ide Muhammad Abduh. Guru memberikan ide-ide kepada
murid dan kemudian muridlah yang menjelaskan dan menyiarkannya kepada umum melalui
lembaran-lembaran Al-Manar. Tetapi, selain dari ide-ide, Al-Manar juga
mengandung artikel-artikel yang dikarang Muhammad Abduh sendiri. Demikian juga
tulisan pengarang-pengarang lain.
Beberapa
pemikiran Rasyid Rida tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a. Sikap aktif dan dinamis di kalangan umat
Islam harus ditumbuhkan.
b. Umat Islam harus meninggalkan sikap dan
pemikiran kaum Jabariyah.
c. Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan
ayat dan hadis tanpa meninggalkan
prinsip umum.
d. Umat Islam menguasai sains dan teknologi
jika ingin maju.
e. Kemunduran umat Islam disebabkan banyaknya
unsur bid’ah dan khurafat yang masuk ke dalam ajaran Islam.
f. Kebahagiaan dunia dan akhirat diperoleh
melalui hukum yang diciptakan Allah Swt.
g. Perlu menghidupkan kembali sistem
pemerintahan khalifah.
h. Khalifah adalah penguasa di seluruh dunia
Islam yang mengurusi bidang agama dan politik.
i. Khalifah haruslah seorang mujtahid besar
dengan bantuan para ulama dalam menerapkan prinsip hukum Islam sesuai dengan
tuntutan zaman.
8. Sayyid Ahmad Khan
Setelah
hancurnya Gerakan Mujahidin dan Kerajaan Mughal sebagai akibat dari
Pemberontakan 1857, muncullah Sayyid Ahmad Khan untuk memimpin umat Islam
India, yang telah kena pukul itu untuk dapat berdiri dan maju kembali sebagai
di masa lampau. Ia lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut keterangan
berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad melalui Fatimah dan Ali.
Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana di zaman Alamghir II (1754‒1759).
Ia mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama dan di samping bahasa
Arab, ia juga belajar bahasa Persia. Ia orang yang rajin membaca dan banyak
memperluas pengetahuan dengan membaca buku dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Sewaktu berusia 18 tahun, ia masuk bekerja pada Serikat India
Timur. Kemudian, ia bekerja pula sebagai hakim. Tetapi, pada tahun 1846, ia
pulang kembali ke Delhi untuk meneruskan studi.
Di
masa Pemberontakan 1857, ia banyak berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan
dan dengan demikian banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan. Pihak
Inggris menganggap ia telah banyak berjasa bagi mereka dan ingin membalas
jasanya, tetapi hadiah yang dianugerahkan Inggris kepadanya ia tolak. Gelar Sir
yang kemudian diberikan kepadanya dapat ia terima. Hubungannya dengan pihak
Inggris menjadi baik dan ini ia pergunakan untuk kepentingan umat Islam India.
Sayyid
Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan umat Islam India dapat
diwujudkan hanya dengan bekeija sama dengan Inggris. Inggris telah merupakan penguasa
yang terkuat di India dan menentang kekuasaan itu tidak akan membawa kebaikan
bagi umat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya
akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India.
Pemikiran
Sayyid Ahmad Khan tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a. Kemunduran umat Islam disebabkan tidak
mengikuti perkembangan zaman dengan cara menguasai sains dan teknologi.
b. Ia berpendirian bahwa manusia bebas
berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunatullah yang tidak berubah. Gabungan
kemampuan akal, kebebasan manusia berkehendak dan berbuat, serta hukum alam
inilah yang menjadi sumber kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
c. Sumber ajaran Islam hanyalah al-Qur’an dan
hadis.
d. Ia menentang taklid dan perlu adanya ijtihad
sehingga umat Islam dapat berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern.
e. Ia berpendapat satu-satunya cara untuk
mengubah pola pikir umat Islam dari keterbelakangan adalah pendidikan.
9. Sultan Mahmud II
Pembaharuan
di Kerajaan Utsmani abad ke- 19, sama halnya dengan pembaharuan di Mesir, juga
dipelopori oleh Raja. Kalau di Mesir Muhammad Ali Pasyalah raja yang memelopori
pembaharuan, di Kerajaan Utsmani, raja yang menjadi pelopor pembaharuan adalah
Sultan Mahmud II.
Mahmud
lahir pada tahun 1785 dan mempunyai didikan tradisional, antara lain
pengetahuan agama, pengetahuan pemerintahan, sejarah dan sastra Arab, Turki dan
Persia. Ia diangkat menjadi Sultan pada tahun 1807 dan meninggal pada tahun
1839.
Di
bagian pertama dari masa kesultanannya, ia disibukkan oleh peperangan dengan
Rusia dan usaha menundukkan daerah-daerah yang mempunyai kekuasaan otonomi
besar. Peperangan dengan Rusia selesai pada tahun 1812 dan kekuasaan otonomi
daerah akhirnya dapat ia perkecil kecuali kekuasaan Muhammad Ali Pasya di Mesir
dan satu daerah otonomi lain di Eropa.
Setelah
kekuasaannya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Utsmani ber-tambah kuat,
Sultan Mahmud II melihat bahwa telah tiba masanya untuk memulai usaha-usaha
pembaharuan yang telah lama ada dalam pemikirannya. Sebagaimana sultan-sultan
lain, hal pertama yang menarik perhatiannya ialah pembaharuan di bidang
militer.
Sultan
Mahmud II banyak melakukan gerakan pembaruan dalam dunia Islam, yaitu sebagai
berikut:
a. Menerapkan sistem demokrasi dalam
pemerintahannya.
b. Menghapus pengutusan sultan yang dianggap
suci oleh rakyatnya.
c. Memasukkan kurikulum umum ke dalam
lembaga-lembaga pendidikan madrasah.
d. Mendirikan sekolah Maktebi Ma’arif yang
mempersiapkan tenaga-tenaga administrasi, dan Maktebi Ulum’i edebiyet yang
mempersiapkan tenaga- tenaga ahli penerjemah.
e. Mendirikan sekolah kedokteran, militer dan
teknik.
10. Muhammad Iqbal
Muhammad
Iqbal berasal dari keluarga golongan menengah di.Punjab dan lahir di Sialkot
pada tahun 1876. Untuk meneruskan studi ia kemudian pergi ke Lahore dan belajar
di sana sampai ia memperoleh gelar kesarjanaan M.A. Di kota itulah ia
berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang Orientalis, yang menurut keterangan,
mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Pada tahun 1905, ia
pergi ke negara ini dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari
falsafat. Dua tahun kemudian, ia pindah ke Munich di Jerman, dan di sinilah ia
memperoleh gelar Ph.D. dalam tasawuf. Tesis doktoral yang diajukannya berjudul:
The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).
Pada
tahun 1908 ia berada kembali di Lahore dan di samping pekerjaannya sebagai
pengacara, ia menjadi dosen falsafat. Bukunya The Reconstruction of Retigious
Thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa
universitas di India. Kemudian, ia memasuki bidang politik dan pada tahun 1930,
ia dipilih menjadi Presiden Liga Muslimin. Di dalam perundingan Meja Bundar di
London, ia turut dua kali mengambil bahagian. Ia juga menghadiri Konferensi
Islam yang diadakan di Yerusalem. Pada tahun 1933, ia diundang ke Afghanistan
untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Dalam usia 62 tahun, ia
meninggal di tahun 1938.
Berbeda
dengan pembaharu-pembaharu lain, Muhammad Iqbal adalah penyair dan filosof.
Tetapi, pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan umat Islam mempunyai
pengaruh pada gerakan pembaruan dalam Islam.
Pemikiran
Muhammad Iqbal tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam
pembaruan Islam dan pintu ijtihad tetap terbuka.
b. Umat Islam perlu mengembangkan sikap
dinamisme. Dalam syiarnya, ia mendorong umat Islam untuk bergerak dan jangan
tinggal diam.
c. Kemunduran umat Islam disebabkan oleh
kebekuan dan kejumudan dalam berpikir.
d. Hukum Islam tidak bersifat statis, tetapi
dapat berkembang sesuai per- kembangan zaman.
e. Umat Islam harus menguasai sains dan
teknologi yang dimiliki Barat.
f. Perhatian umat Islam terhadap zuhud
menyebabkan kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah keduniaan dan sosial
kemasyarakatan.
11. Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di
Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di
barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan sudah tidak diragukan
lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup berpengaruh dalam
perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ahmad Khan,
hingga Sir Muhammad Iqbal. Nama keluarga Fazlur Rahman adalah Malak, namun nama
keluarga Malak ini tidak pernah digunakan dalam daftar referensi baik di Barat
ataupun di Timur.
Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat
religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang
mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat,
puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun (1992: 59). Dengan latar
belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur
sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang
dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.
Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga mazhab Sunni,
Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan
intelektualitasnya dan keyakinan-keyakinannya. Dengan demikian, Fazlur Rahman
dapat mengekspresikan gagasan-gagasannya secara terbuka dan bebas. Seperti
pendapat mengenai wajibnya shalat tiga waktu yang dijalani oleh penganut mazhab
Syi’ah, Fazlur Rahman beranggapan bahwa praktek tersebut dibenarkan secara
historis karena Muhammad saw. pernah melakukannya tanpa sesuatu alasan (Rahman,
2003: 41).
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak
dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh
pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih saying, kesetiaan, dan cinta.
Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat,
namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab
Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus
memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan.
Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan
Fazlur Rahman (Rahman, 1992: 59). Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur
Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam
mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia
sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam (A’la,
2003: 34).
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di
sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur
Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam
kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran
yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh
pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat
belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab,
teologi atau kalam, hadis dan tafsir (A’la, 2003: 34).
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman
kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai
kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor
of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini
berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar
Master dalam bahasa Arab. Menurut Amal (1996: 80), ketika telah menyelesaikan
studi Masternya dan tengah belajar untuk menempuh program Doktoral di Lahore,
Fazlur Rahman pernah diajak oleh Abul A’la Mauwdudi, yang kelak menjadi “musuh”
intelektualitasnya, untuk bergabung di Jama’at al Islami dengan syarat meninggalkan
pendidikannya.
Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk
melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya untuk melanjutkan
studinya di Inggris dikarenakan oleh mutu pendidikan di India ketika itu sangat
rendah. Dibawah bimbingan Profesor S. Van den Berg dan H A R Gibb, Fazlur
Rahman berhasil menyelesaikan studinya tersebut dan memperoleh gelar Ph. D pada
tahun 1949 dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Disertasi Fazlur Rahman ini
kemudian diterbitkan oleh Oxford University Press dengan judul Avicenna’s
Psychology.
Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan
diri untuk belajar pelbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai
olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu
(Sutrisno, 2006: 62). Penguasaan pelbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman
dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi
keislaman) melalui penelusuran pelbagai literatur.
Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur
Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan
diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika
tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham
University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill
University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of
Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika
menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham
University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan
pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai
menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam,
yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat (Rahman, 1992: 60).
Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada
awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta
bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut
Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan
untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam
Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk
memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi
anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic
Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan
dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang
dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah (Rahman, 1992: 63).
Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai
pelbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman
mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di
Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika
jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab
pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur
Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan
hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya
adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga
merupakan perkataan Muhammad saw. (Rahman, 2003: 33). Akibat
pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran
(orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal (1994: 14-15), kontroversi
dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga
kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada
gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada
September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman
berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman
tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968
permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset
Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan.
Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk
memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat
menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang
ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam,
pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali
Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman
memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa
gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di
Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas pelbagai
gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan
(A’la, 2003: 40).
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh
kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di
perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di
Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. Rahman sendiri
menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut laiknya ikan yang naik ke atas hanya
untuk mendapatkan udara (Wan Daud, 1991: 108). Dari konsistensinya dan
kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan
lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah
pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von
Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles.
Pada pertengahan dekade 80-an, kesehatan tokoh utama
neomodernisme Islam tersebut mulai terganggu, dintaranya ia mengidap penyakit
kencing manis dan jantung. Konsistensi Rahman untuk terus berkarya pun ditandai
oleh lahirnya karya yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of
Islamic Fundamentalism. Walaupun baru diterbitkan setelah beliau wafat,
namun pengerjaannya dilakukan ketika sakit beliau makin parah dengan dibantu
oleh puteranya. Akhirnya, pada 26 Juli 1988 profesor pemikiran Islam di
Univesitas Chicago itu pun tutup usia pada usia 69 tahun setelah beberapa lama
sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago.
Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karya Fazlur Rahman
Pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga fase atau
periode, yakni periode awal, periode Pakistan, dan periode Chicago. Periode
pertama belangsung sekitar dekade 50-an dan pada periode ini Rahman hanya
menghasilkan karya-karya yang besifat historis, seperti Avicenna’s Psycology
(1952), Avicenna’s De Anima, dan Propecy in Islam: Philosophy and
Orthodoxy (1958). Melalui ketiga buku Rahman ini akan terlihat jelas concern
pemikirannya, yakni kajian historis murni. Namun demikian, kajian yang
dilakukan Rahman pada buku yang disebut terakhir mempengaruhi pandangannya
tentang proses pewahyuan kepada nabi Muhammad saw (Amal, 1996: 116).
Periode Pakistan merupakan tahapan kedua dari perkembangan
pemikiran Rahman yang berlangsung sekitar dekade 60-an. Berbeda dengan periode
pertama yang cenderung pada kajian historis dari pemikiran Islam, concern Rahman
pada periode ini mengalami perubahan yang radikal, yakni pada kajian-kajian
Islam normatif. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan concern
pemikiran Rahman ini ialah.
1. Adanya kontroversi yang
akut di Pakistan antara kalngan modernis disatu pihak dan kalangan
tradisionalis dan fundamentalis di lain pihak. Kontroversi ini bermuara pada
definisi Islam untuk negeri Pakistan ketika itu,
2. Kontak yang intens
dengan Barat ketika menetap di sana, sangat berarti dalam penyadaran dirinya
pada hakikat tantangan Islam pada periode modern,
3. Posisi penting sebagai
Direktur Lembaga Riset Islam dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam
Pemerintah Pakistan, yang kemudeian mendorong Rahman untuk turut aktif dalam
meberikan definisi Islam bagi Pakistan dari kalangan modernis (Sutrisno, 2006:
71-72).
Walaupun belum ditopang oleh metodologi yang sistematis, pada
periode ini Rahman sudah mulai melakukan kajian Islam normatif dan terlibat
dalam arus pemikiran Islam (Sibawaihi, 2007: 21). Selain itu, Rahman terlibat
pula secara intens dalam upaya-upaya menjawab tantangan-tantangan serta
kebutuhan-kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer dengan cara merumuskan
kembali Islam. Adapun pada periode ini, pemikiran Rahman dicurahkan dalam
memenuhi tugasnya dalam merumuskan ajaran Islam yang disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat Pakistan. Keterlibatan Rahman dalam arus pemikiran Islam
dapat ditandai oleh beberapa artikel yang ia tulis pada jurnal Islamic
Studies pada bulan Maret 1962 hingga Juni 1963. Menurut Açikgenç (dalam
Saleh 2007: 27), sebenarnya pada periode kedua ini Rahman sudah berkeinginan
mengembangkan metodologi yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada
Alquran dan Hadis.
Mutiara-mutiara pemikiran yang berhasil dihasilkan oleh Rahman
pada periode ini diantaranya Islamic Methodology in History (1965), dan Islam
(1966). Buku yang disebut pertama merupakan kumpulan dari beberapa tulisannya
yang dipublikasikan di jurnal Islamic Studies. Artikel-artikel dalam
buku ini ditulis dengan bertujuan untuk memperlihatkan, pertama, evolusi
historis dari aplikasi keempat prinisp pokok pemikiran Islam, yakni Alquran, Sunnah,
ijtihad, ijma’. Kedua, perranan aktual dari
prinsip-prinsip tersebut bagi perkembangan Islam (Rahman, 1995: ix).
Buku kedua Rahman yang lahir pada peridoe kedua ini ialah
berjudul Islam. Buku ini memaparkan perkembangan umum agama Islam selama
empat belas abad, oleh karena itu menjadi wajar ketika buku ini menjadi dasar
pengantar umum tentang studi Islam. Dua buah artikel pertama yang tersusun
dalam buku ini , yakni artikel yang berjudul Muhammad dan Alquran, ketika dipublikasikan
di Pakistan sempat menuai berbagai kontroversi. Kontroversi terjadi berkenaan
padangan Rahman mengenai hakikat Alquran dan proses pewahyuannya kepada
Muhammad saw. Rahman memandang bahwa Alquran secara keseluruhannya adalah kalam
Allah swt. dan dalam artian biasa merupakan perkataan Muhammad saw (Rahman,
2003: 33). Adapaun tulisan-tulisan Rahman yang difokuskan untuk memberi
definisi Islam di Pakistan diantaranya ialah Some Reflection on the
Reconstruction of Muslim Society in Pakistan, Implementation of the
Islamic Concept of State in the Pakistan Milieu, dan The Qur’anic
Solution of Pakistan’s Educational Problems.
Perkembangan dan periode pemikiran Fazlur Rahman berikutnya
ialah periode Chicago yang terhitung dari kepindahannya ke Chicago. Seluruh
karya Rahman yang dihasilkan pada periode ini mencakup kajian Islam historis
dan normatif. Adapun karya-karya yang berhasil ia hasilkan pada periode ini
diantaranya The Philosophy of Mulla Shadra, Major Themes of The
Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
dan Health and Medicine in Islamic Tradition.
Buku yang pertama penulis sebut di atas murni merupakan karya
yang bertemakan Islam historis dan tidak memiliki hubungan dalam kajian-kajian
Islam normatif. Sedangkan buku kedua karya Rahman pada periode kedua ini
membahas mengenai delapan tema pokok Alquran, yakni Tuhan, Manusia sebagai
Individu, Manusia Anggota Masyarakat, Alam Semesta, Kenabian dan Wahyu,
Eskatologi, Setan dan Kejahatan, serta Lahirnya Masyarakat Muslim. Buku yang
kerap kali disebut sebagai magum opus Fazlur Rahman ini mengkaji
pelbagai ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan tema-tema yang telah disebut
sebelumnya dan kemudian ditafsirkan dengan cara menghubungkan ayat-ayat
tersebut. Selain itu, buku karya Rahman ini merupakan sikap atau tanggapannya
atas pelabagai buku atau tulisan yang dibuat oleh para orientalis (seperti
Richard Bell, Montgomery Watt, John Wansbrough, dal lain sebagainya) yang kerap
kali menghubungkan atau beranggapan bahwa Alquran merupakan kelanjutan atau
terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang pernah ada sebelumya (seperti Yahudi dan
Nasrani). Melalui karya ini, Rahman berhasil membangun landasan filosofis yang
terga untuk perenungan kembali makna dan pesan Alquran bagi kaum Muslim kontemporer.
Buku berikutnya yang Rahman hasilkan pada periode Chicago ini
ialah Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition.
Buku ini sangat jelas memperlihatkan intensitas Rahman dalam menata masa depan
Islam dan umatnya. Dengan demikian, buku ini tidak melulu membahas Islam
historis yang tidak memberikan solusi kongkrit bagi pembangunan umat Islam dan
bekal untuk umat Islam dalam menghadapi periode modern. Berikutnya ialah buku
yang berjudul Helath and Medicine in Islamic Tradition, buku ini
berusaha menangkap kaitan organis antara Islam sebagai sebuah sistem
kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia.
Setelah mengkaji perkembangan pemikiran Rahman yang didasarkan
pada buku-buku yang ia hasilkan sepanjang karir intelektualitasnya, maka dapat
dikatakan bahwa Rahman mengalami perubahan concern pemikiran serta
kajiannya. Perubahan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh kesadaran Rahman
bahwa Islam dewasa ini tengah menghadapi krisis yang sebagian akarnya terdapat
dalam Islam sejarah, pengaruh-pengaruh Barat dengan tantangan-tantangan modernitasnya,
kemudian membuatnya berupaya membuat atau merumuskan soluai terhadap krisis
tersebut (Amal, 1996: 148-149).
Secara keseluruhan buku-buku yang Rahman hasilkan berjumlah
sepuluh buah. Namun demikian, bukan berarti bahwa Fazlur Rahman hanya
menghasilkan buku-buku an sich. Sepanjang karir intelektualitasnya,
doctor lulusan Oxford University tersebut menulis pelbagai artikel di beberapa
jurnal ilmiah dan sebagian dari artikel-artikel tersebut dikumpulkan menjadi
beberapa buku. Adapun buku-buku yang dihasilkan olehnya ialah sebagai berikut.
- Avicenna’s
Psycology
- Propecy
in Islam: Philosophy and Ortodoxy
- Avicennas’s
De Anima, being the Psycological Part of Kitab al Shifa
- The
Philosophy of Mulla Shadra
- Islamic
Methodology in History
- Islam
- Major
Times of the Qur’an
- Islam
and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition
- Revival
and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism
- Health
and Medicine in Islamic Tradition
Demikian Sahabat binsani yang budiman. semoga dengan artikel di
atas dapat menambah wawasan para sahabat sekalian.
“Jangan lupa Follow
melalui email anda untuk selalu mendapat update dari kami”
Sumber :
http://pendidikanislam95.blogspot.co.id/2017/01/tokoh-tokoh-pembaharuan-dunia-islam.html
No comments:
Post a Comment