Media Dakwah, Pendidikan, Teknologi dan kesehatan

cari artikel anda disini

Wednesday, April 25, 2018

Tokoh-Tokoh Pemikir Pembaharuan Islam Serta Hasil Pemikiranya Lengkap





Orang-orang eropa mengubah penjelajahan menjadi penjajahan. Melalui penjelajahan yang dilakukanya, orang eropa mengetahui kelemahan negara-negara yang dilaluinya. Mereka berhasil menguasai negara-negara di Asia da Afrika. Kondisi yang demikian memaksa para pemikir Islam untuk berpikir guna mengembalikan balance of power. Mulailah timbul hal yang disebut pemikiran dan pembaharuan dalam Islam. Para pemikir Islam berusaha menemukan cara agar umat Islam mencapai kondisi sebagaimana periode Klasik. Melalui berbagaii pemikiran para tokoh dan pemuka Islam mulai bergerak keluar dari kegelapan.


Tokoh-tokoh yang memelopori gerakan pembaharuan dunia Islam, antara lain: Muhammad bin Abdul Wahab, Syah Waliyullah, Muhammad Ali Pasya, Al- Tahtawi, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Sayyid Ahmad Khan, dan Sultan Mahmud II. Fazlur Rahman


1.   Muhammad bin Abdul Wahab
Di Arabia timbul suatu aliran Wahabiyah, yang mempunyai pengaruh pada pemikiran pembaharuan di abad ke-19. Pencetusnya ialah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) yang lahir di Uyainah, Nejd, Arab Saudi. Setelah menyelesaikan pelajarannya di Madinah ia pergi merantau ke Basrah dan tinggal di kota ini selama empat tahun. Selanjutnya ia pindah ke Bagdad dan di sini ia menikah dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian, setelah istrinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan, selanjutnya ke Hamdan, dan ke Isfahan. Di Kota Isfahan, ia sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah bertahun-tahun merantau, ia akhirnya kembali ke tempat kelahirannya di Nejed.
Pemikiran yang dicetuskan Muhammad bin Abd Wahab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di Kerajaan Utsmani dan Kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu. Kemurnian paham tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ketiga belas memang tersebar luas di dunia Islam.
Soal tauhid memang merupakan ajaran paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Muhammad bin Abd Wahhab memusatkan perhatian pada soal ini. Ia berpendapat seperti berikut:
a.   Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah Swt., dan orang yang menyembah selain Allah Swt. telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.
b. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Allah, tetapi dari syekh atau wali dari kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik.
c.   Menyebut nama nabi, syekh, atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik.
d.   Meminta syafa’at selain dari kepada Allah Swt. adalah juga syirik.
e.   Bernazar kepada selain dari Allah Swt. juga syirik.
f.  Memperoleh pengetahuan selain dari al-Qur’an, hadis dan qias (analogi) merupakan kekufuran.
g.   Tidak percaya kepada qada dan qadar Allah Swt. juga merupakan kekufuran.
h.   Demikian pula menafsirkan al-Qur’an dengan ta’wil (interpretasi bebas) adalah kufur.
Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abd Wahhab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke-19 antara lain seperti berikut:
a.  Hanya al-Qur’an dan hadislah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
b.   Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
c.   Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.

2.   Syah Waliyullah
Syah Waliyullah dilahirkan di Delhi pada tanggal 21 Februari 1703 M. Ia mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, Syah Abd Rahim, seorang sufi dan ulama yang memiliki madrasah. Setelah dewasa, ia kemudian turut mengajar di madrasah itu. Selanjutnya, ia pergi naik haji  dan selama satu tahun di Hejaz ia sempat belajar pada ulama-ulama yang ada di Mekkah dan Madinah. Ia kembali ke Delhi pada tahun 1732 dan meneruskan pekerjaannya yang lama sebagai guru. Di samping itu, ia gemar menulis buku dan banyak meninggalkan karya-karyanya, di antaranya buku Hujjatullah Al-Baligah dan Fuyun Al-Haramain.
Di antara penyebab yang membawa kepada kelemahan dan kemunduran umat Islam menurut pemikirannya adalah sebagai berikut:
a.   Terjadinya perubahan sistem pemerintahan Islam dari sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan.
b.   Sistem demokrasi yang ada dalam kekhalifahan diganti dengan sistem monarki absolut.
c.  Perpecahan di kalangan umat Islam yang disebabkan oleh berbagai pertentangan aliran dalam Islam.
d.   Adat istiadat dan ajaran bukan Islam masuk ke dalam keyakinan umat Islam.
Di zaman Syah Waliyullah, penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa asing masih dianggap terlarang. Tetapi, ia melihat bahwa orang di India membaca al-Qur’an dengan tidak mengerti isinya. Pembacaan tanpa pengertian tak besar faedahnya untuk kehidupan duniawi mereka. Ia melihat perlu al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa yang dapat dipahami orang awam. Bahasa yang dipilihnya ialah bahasa Persia yang banyak dipakai di kalangan terpelajar Islam India di ketika itu. Penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Persia disempurnakan Syah Waliyullah di tahun 1758. Terjemahan itu pada mulanya mendapat tantangan, tetapi lambat laun dapat juga diterima oleh masyarakat. Karena masyarakat telah mau menerima terjemahan, putranya kemudian membuat terjemahan ke dalam bahasa Urdu, bahasa yang lebih umum dipakai oleh masyarakat Islam India daripada bahasa Persia.

3.   Muhammad Ali Pasya
Muhammad Ali Pasya lahir di Kawala, Yunani pada tahun 1765 M adalah seorang keturunan Turki dan meninggal di Mesir pada tahun 1849 M. Sebagaimana raja-raja Islam lainnya, Muhammad Ali juga mementingkan soal yang bersangkutan dengan militer. Ia yakin bahwa kekuasaannya hanya dapat dipertahankan dan diperbesar dengan kekuatan militer. Di samping itu, ia mengerti bahwa di belakang kekuatan militer mesti ada kekuatan ekonomi yang sanggup membelanjai pembaharuan dalam bidang militer, dan bidang-bidang yang bersangkutan dengan urusan militer. Jadi, ada dua hal yang penting baginya, kemajuan ekonomi dan kemajuan militer. Kedua hal tersebut menghendaki ilmu-ilmu modern yang telah dikenal orang di Eropa.
Ide dan gagasan Muhammad Ali Pasya yang sangat inovatif pada zamannya antar lain bahwa, untuk mendirikan sekolah-sekolah modern dan memasukkan ilmu-ilmu modern dan sains ke dalam kurikulum. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian yang dikenal sebagai sekolah modern di Mesir pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Saat itu Mesir masih mempunyai sistem pendidikan tradisional, yaitu kuttab, masjid, madrasah, dan jami’ al-Azhar. Sementara itu ia melihat jika ia memasukkan kurikulum modern ke dalam lembaga pendidikan tradisional tersebut, sangat sulit. Oleh karena itulah, ia mengambil jalan alternatif dengan cara mendirikan sekolah modern di samping madrasah-madrasah tradisional yang telah ada pada masa itu masih tetap berjalan.
4.   Al-Tahtawi
Rifa’ah  Baidawi Rafi’ Al-Tahtawi demikian nama lengkapnya. Ia lahir pada tahun 1801 M di Tahta, suatu kota yang terletak di Mesir bagian selatan dan meninggal di Kairo pada tahun 1873 M. Ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh kekayaan di Mesir, harta orang tua Al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu, ia selesai dari studinya di Al-Azhar pada tahun 1822 M.
Beberapa pemikirannya tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a.   Ajaran Islam bukan hanya mementingkan soal akhirat, tetapi juga soal hidup di dunia. Umat Islam juga harus memperhatikan kehidupan dunia.
b.   Kekuasaan raja yang absolut harus dibatasi oleh syariat, raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum intelektual.
c.   Syariat harus diartikan sesuai dengan perkembangan modern.
d. Kaum ulama harus  mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan modern agar syariat dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat modern.
e.  Pendidikan harus bersifat universal, misalnya wanita harus memperoleh pendidikan yang sama dengan kaum pria. Istri harus menjadi teman dalam kehidupan intelektual dan sosial.
f.     Umat Islam harus dinamis dan meninggalkan sifat statis.

5.   Jamaludin Al-Afgani

Jamaludin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istambul pada tahun 1897. Ketika baru berusia dua puluh dua tahun, ia telah menjadi pembantu bagi Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana menteri. Dalam pada itu, Inggris mulai mencampuri soal politik dalam negeri Afghanistan dan dalam  pergolakan yang terjadi Al-Afgani memilih pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Al-Afgani merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869.
Beberapa pemikiran Jamaludin Al-Afgani tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a.   Kemunduran umat Islam tidak disebabkan karena Islam tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi. Kemunduran itu disebabkan oleh berbagai faktor.
b.  Untuk mengembalikan kejayaan pada masa lalu dan sekaligus menghadapi dunia modern, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang murni dan Islam harus dipahami dengan akal serta kebebasan.
c.  Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan demokratis. Kepala negara harus bermusyawarah dengan pemuka masyarakat yang berpengalaman.
d.   Tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Pan Islamisme atau rasa solidaritas antarumat Islam harus dihidupkan kembali

6.   Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan di Mesir pada tahun 1849 M. Bapaknya bernama Abduh Hasan Khaerullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar Ibn Al-Khattab.
Pada tahun 1866 M, Muhammad Abduh meneruskan studinya ke Al-Azhar. Sewaktu masih belajar di Al-Azhar, Jamaludin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul. Di sinilah Muhammad Abduh untuk pertama kalinya bertemu dengan Jamaludin Al-Afghani. Dalam pertemuan itu, Jamaludin Al-Afghani mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai arti beberapa ayat al-Qur’an. Kemudian, ia berikan tafsirannya. Perjumpaan ini meninggalkan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh.
Ketika Jamaludin Al-Afghani datang pada tahun 1871 untuk menetap di Mesir, Muhammad Abduh menjadi muridnya yang paling setia. Ia mulai belajar falsafat di bawah pimpinan Jamaludin Al-Afghani. Di masa ini, ia telah mulai menulis karangan-karangan untuk harian Al-Ahram yang pada waktu itu baru saja didirikan.
Pada tahun 1877, studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar Alim. Ia mulai mengajar, pertama di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. Di antara buku-buku yang diajarkannya ialah buku akhlak karangan Ibn Miskawaih, Mukaddimah Ibn Khaldun, dan sejarah Kebudayaan Eropa karangan Guizot, yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857. Sewaktu Jamaludin Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khedewi Tawfik, Muhammad Abduh yang juga dipandang turut campur dalam soal ini, dibuang keluar kota Kairo. Tetapi di tahun 1880 ia boleh kembali ke ibu kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir.
Adapun ide-ide pembaruan Muhammad Abduh yang membawa dampak positif bagi pengembangan pemikiran Islam adalah sebagai berikut:
a. Pembukaan pintu ijtihad. Menurut Muhammad Abduh, ijtihad merupakan dasar penting dalam menafsirkan kembali ajaran Islam.
b.  Penghargaan terhadap akal. Islam adalah ajaran rasional yang sejalan dengan akal sebab dengan akal, ilmu pengetahuan akan maju.
c.   Kekuasaan negara harus dibatasi oleh konstitusi yang telah dibuat oleh negara yang bersangkutan.
7.   Rasyid Rida
Rasyid Rida adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari Kota Tripoli (Suria). Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, ia memakai gelar Al-Sayyid di depan namanya. Semasa kecil, ia dimasukkan ke madrasah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al- Qur’an. Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di Madrasah Al-Wataniah Al- Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern.
Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di masa itu sekolah-sekolah misi Kristen telah mulai bermunculan di Suria dan banyak menarik perhatian orang tua untuk memasukkan anak-anak mereka belajar di sana. Dalam usaha menandingi daya tarik sekolah-sekolah misi inilah, maka Al-Syaikh Husain Al-Jisr mendirikan Sekolah Nasional Islam tersebut. Karena mendapat tantangan dari pemerintah Kerajaan Utsmani, umur sekolah itu tidak panjang.
Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Tetapi dalam pada itu, hubungan dengan Al-Syaikh Husain Al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya, ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majallah Al-Urwah Al-Wusá¹­a. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid Al-Afghani yang terdekat ini. Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang diperolehnya dari Al- Syaikh Husain Al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide Al-Afghani dan Muhammad Abduh amat memengaruhi jiwanya.

Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak Kerajaan Utsmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas. Oleh karena itu, ia memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898, ia sampai di negeri gurunya ini.
Beberapa bulan kemudian, ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, Al-Manar. Di dalam nomor pertama, dijelaskan bahwa tujuan Al-Manar sama dengan tujuan Al-Urwah Al-Wusá¹­a, antara lain mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi, memberantas takhyul dan bid’ah-bid’àh yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan paham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam, serta paham-paham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.
Majalah ini banyak menyiarkan ide-ide Muhammad Abduh. Guru memberikan ide-ide kepada murid dan kemudian muridlah yang menjelaskan dan  menyiarkannya kepada umum melalui lembaran-lembaran Al-Manar. Tetapi, selain dari ide-ide, Al-Manar juga mengandung artikel-artikel yang dikarang Muhammad Abduh sendiri. Demikian juga tulisan pengarang-pengarang lain.
Beberapa pemikiran Rasyid Rida tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a.   Sikap aktif dan dinamis di kalangan umat Islam harus ditumbuhkan.
b.   Umat Islam harus meninggalkan sikap dan pemikiran kaum Jabariyah.
c.   Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat dan hadis tanpa  meninggalkan prinsip umum.
d.   Umat Islam menguasai sains dan teknologi jika ingin maju.
e.  Kemunduran umat Islam disebabkan banyaknya unsur bid’ah dan khurafat yang masuk ke dalam ajaran Islam.
f.    Kebahagiaan dunia dan akhirat diperoleh melalui hukum yang diciptakan Allah Swt.
g.   Perlu menghidupkan kembali sistem pemerintahan khalifah.
h.   Khalifah adalah penguasa di seluruh dunia Islam yang mengurusi bidang agama dan politik.
i.   Khalifah haruslah seorang mujtahid besar dengan bantuan para ulama dalam menerapkan prinsip hukum Islam sesuai dengan tuntutan zaman.
8.   Sayyid Ahmad Khan
Setelah hancurnya Gerakan Mujahidin dan Kerajaan Mughal sebagai akibat dari Pemberontakan 1857, muncullah Sayyid Ahmad Khan untuk memimpin umat Islam India, yang telah kena pukul itu untuk dapat berdiri dan maju kembali sebagai di masa lampau. Ia lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut keterangan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad melalui Fatimah dan Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana di zaman Alamghir II (1754‒1759). Ia mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama dan di samping bahasa Arab, ia juga belajar bahasa Persia. Ia orang yang rajin membaca dan banyak memperluas pengetahuan dengan membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sewaktu berusia 18 tahun, ia masuk bekerja pada Serikat India Timur. Kemudian, ia bekerja pula sebagai hakim. Tetapi, pada tahun 1846, ia pulang kembali ke Delhi untuk meneruskan studi.
Di masa Pemberontakan 1857, ia banyak berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan dan dengan demikian banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan. Pihak Inggris menganggap ia telah banyak berjasa bagi mereka dan ingin membalas jasanya, tetapi hadiah yang dianugerahkan Inggris kepadanya ia tolak. Gelar Sir yang kemudian diberikan kepadanya dapat ia terima. Hubungannya dengan pihak Inggris menjadi baik dan ini ia pergunakan untuk kepentingan umat Islam India.
Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan umat Islam India dapat diwujudkan hanya dengan bekeija sama dengan Inggris. Inggris telah merupakan penguasa yang terkuat di India dan menentang kekuasaan itu tidak akan membawa kebaikan bagi umat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India.
Pemikiran Sayyid Ahmad Khan tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a.   Kemunduran umat Islam disebabkan tidak mengikuti perkembangan zaman dengan cara menguasai sains dan teknologi.
b.  Ia berpendirian bahwa manusia bebas berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunatullah yang tidak berubah. Gabungan kemampuan akal, kebebasan manusia berkehendak dan berbuat, serta hukum alam inilah yang menjadi sumber kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
c.   Sumber ajaran Islam hanyalah al-Qur’an dan hadis.
d.   Ia menentang taklid dan perlu adanya ijtihad sehingga umat Islam dapat berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
e.  Ia berpendapat satu-satunya cara untuk mengubah pola pikir umat Islam dari keterbelakangan adalah pendidikan.
9.   Sultan Mahmud II
Pembaharuan di Kerajaan Utsmani abad ke- 19, sama halnya dengan pembaharuan di Mesir, juga dipelopori oleh Raja. Kalau di Mesir Muhammad Ali Pasyalah raja yang memelopori pembaharuan, di Kerajaan Utsmani, raja yang menjadi pelopor pembaharuan adalah Sultan Mahmud II.
Mahmud lahir pada tahun 1785 dan mempunyai didikan tradisional, antara lain pengetahuan agama, pengetahuan pemerintahan, sejarah dan sastra Arab, Turki dan Persia. Ia diangkat menjadi Sultan pada tahun 1807 dan meninggal pada tahun 1839.

Di bagian pertama dari masa kesultanannya, ia disibukkan oleh peperangan dengan Rusia dan usaha menundukkan daerah-daerah yang mempunyai kekuasaan otonomi besar. Peperangan dengan Rusia selesai pada tahun 1812 dan kekuasaan otonomi daerah akhirnya dapat ia perkecil kecuali kekuasaan Muhammad Ali Pasya di Mesir dan satu daerah otonomi lain di Eropa.

Setelah kekuasaannya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Utsmani ber-tambah kuat, Sultan Mahmud II melihat bahwa telah tiba masanya untuk memulai usaha-usaha pembaharuan yang telah lama ada dalam pemikirannya. Sebagaimana sultan-sultan lain, hal pertama yang menarik perhatiannya ialah pembaharuan di bidang militer.
Sultan Mahmud II banyak melakukan gerakan pembaruan dalam dunia Islam, yaitu sebagai berikut:
a.   Menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahannya.
b.   Menghapus pengutusan sultan yang dianggap suci oleh rakyatnya.
c.   Memasukkan kurikulum umum ke dalam lembaga-lembaga pendidikan madrasah.
d.  Mendirikan sekolah Maktebi Ma’arif yang mempersiapkan tenaga-tenaga administrasi, dan Maktebi Ulum’i edebiyet yang mempersiapkan tenaga- tenaga ahli penerjemah.
e.   Mendirikan sekolah kedokteran, militer dan teknik.
10. Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal berasal dari keluarga golongan menengah di.Punjab dan lahir di Sialkot pada tahun 1876. Untuk meneruskan studi ia kemudian pergi ke Lahore dan belajar di sana sampai ia memperoleh gelar kesarjanaan M.A. Di kota itulah ia berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang Orientalis, yang menurut keterangan, mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Pada tahun 1905, ia pergi ke negara ini dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari falsafat. Dua tahun kemudian, ia pindah ke Munich di Jerman, dan di sinilah ia memperoleh gelar Ph.D. dalam tasawuf. Tesis doktoral yang diajukannya berjudul: The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan  Metafisika di Persia).
Pada tahun 1908 ia berada kembali di Lahore dan di samping pekerjaannya sebagai pengacara, ia menjadi dosen falsafat. Bukunya The Reconstruction of Retigious Thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa universitas di India. Kemudian, ia memasuki bidang politik dan pada tahun 1930, ia dipilih menjadi Presiden Liga Muslimin. Di dalam perundingan Meja Bundar di London, ia turut dua kali mengambil bahagian. Ia juga menghadiri Konferensi Islam yang diadakan di Yerusalem. Pada tahun 1933, ia diundang ke Afghanistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Dalam usia 62 tahun, ia meninggal di tahun 1938.
Berbeda dengan pembaharu-pembaharu lain, Muhammad Iqbal adalah penyair dan filosof. Tetapi, pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan umat Islam mempunyai pengaruh pada gerakan pembaruan dalam Islam.
Pemikiran Muhammad Iqbal tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
a.   Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaruan Islam dan pintu ijtihad tetap terbuka.
b.  Umat Islam perlu mengembangkan sikap dinamisme. Dalam syiarnya, ia mendorong umat Islam untuk bergerak dan jangan tinggal diam.
c.   Kemunduran umat Islam disebabkan oleh kebekuan dan kejumudan dalam berpikir.
d.   Hukum Islam tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai per- kembangan zaman.
e.   Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi yang dimiliki Barat.
f.    Perhatian umat Islam terhadap zuhud menyebabkan kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah keduniaan dan sosial kemasyarakatan.
11. Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ahmad Khan, hingga Sir Muhammad Iqbal. Nama keluarga Fazlur Rahman adalah Malak, namun nama keluarga Malak ini tidak pernah digunakan dalam daftar referensi baik di Barat ataupun di Timur.
Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun (1992: 59). Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.
Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga mazhab Sunni, Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan intelektualitasnya dan keyakinan-keyakinannya. Dengan demikian, Fazlur Rahman dapat mengekspresikan gagasan-gagasannya secara terbuka dan bebas. Seperti pendapat mengenai wajibnya shalat tiga waktu yang dijalani oleh penganut mazhab Syi’ah, Fazlur Rahman beranggapan bahwa praktek tersebut dibenarkan secara historis karena Muhammad saw. pernah melakukannya tanpa sesuatu alasan (Rahman, 2003: 41).
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih saying, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman (Rahman, 1992: 59). Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam (A’la, 2003: 34).
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir (A’la, 2003: 34).
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Menurut Amal (1996: 80), ketika telah menyelesaikan studi Masternya dan tengah belajar untuk menempuh program Doktoral di Lahore, Fazlur Rahman pernah diajak oleh Abul A’la Mauwdudi, yang kelak menjadi “musuh” intelektualitasnya, untuk bergabung di Jama’at al Islami dengan syarat meninggalkan pendidikannya.
Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya untuk melanjutkan studinya di Inggris dikarenakan oleh mutu pendidikan di India ketika itu sangat rendah. Dibawah bimbingan Profesor S. Van den Berg dan H A R Gibb, Fazlur Rahman berhasil menyelesaikan studinya tersebut dan memperoleh gelar Ph. D pada tahun 1949 dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Disertasi Fazlur Rahman ini kemudian diterbitkan oleh Oxford University Press dengan judul Avicenna’s Psychology.
Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar pelbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu (Sutrisno, 2006: 62). Penguasaan pelbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran pelbagai literatur.
Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat (Rahman, 1992: 60).
Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah (Rahman, 1992: 63).
Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai pelbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad saw. (Rahman, 2003: 33). Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal (1994: 14-15), kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan.
Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan (A’la, 2003: 40).
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut laiknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara (Wan Daud, 1991: 108). Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles.
Pada pertengahan dekade 80-an, kesehatan tokoh utama neomodernisme Islam tersebut mulai terganggu, dintaranya ia mengidap penyakit kencing manis dan jantung. Konsistensi Rahman untuk terus berkarya pun ditandai oleh lahirnya karya yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Walaupun baru diterbitkan setelah beliau wafat, namun pengerjaannya dilakukan ketika sakit beliau makin parah dengan dibantu oleh puteranya. Akhirnya, pada 26 Juli 1988 profesor pemikiran Islam di Univesitas Chicago itu pun tutup usia pada usia 69 tahun setelah beberapa lama sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago.

Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karya Fazlur Rahman
Pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga fase atau periode, yakni periode awal, periode Pakistan, dan periode Chicago. Periode pertama belangsung sekitar dekade 50-an dan pada periode ini Rahman hanya menghasilkan karya-karya yang besifat historis, seperti Avicenna’s Psycology (1952), Avicenna’s De Anima, dan Propecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Melalui ketiga buku Rahman ini akan terlihat jelas concern pemikirannya, yakni kajian historis murni. Namun demikian, kajian yang dilakukan Rahman pada buku yang disebut terakhir mempengaruhi pandangannya tentang proses pewahyuan kepada nabi Muhammad saw (Amal, 1996: 116).
Periode Pakistan merupakan tahapan kedua dari perkembangan pemikiran Rahman yang berlangsung sekitar dekade 60-an. Berbeda dengan periode pertama yang cenderung pada kajian historis dari pemikiran Islam, concern Rahman pada periode ini mengalami perubahan yang radikal, yakni pada kajian-kajian Islam normatif. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan concern pemikiran Rahman ini ialah.
1. Adanya kontroversi yang akut di Pakistan antara kalngan modernis disatu pihak dan kalangan tradisionalis dan fundamentalis di lain pihak. Kontroversi ini bermuara pada definisi Islam untuk negeri Pakistan ketika itu,
2. Kontak yang intens dengan Barat ketika menetap di sana, sangat berarti dalam penyadaran dirinya pada hakikat tantangan Islam pada periode modern,
3. Posisi penting sebagai Direktur Lembaga Riset Islam dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, yang kemudeian mendorong Rahman untuk turut aktif dalam meberikan definisi Islam bagi Pakistan dari kalangan modernis (Sutrisno, 2006: 71-72).
Walaupun belum ditopang oleh metodologi yang sistematis, pada periode ini Rahman sudah mulai melakukan kajian Islam normatif dan terlibat dalam arus pemikiran Islam (Sibawaihi, 2007: 21). Selain itu, Rahman terlibat pula secara intens dalam upaya-upaya menjawab tantangan-tantangan serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer dengan cara merumuskan kembali Islam. Adapun pada periode ini, pemikiran Rahman dicurahkan dalam memenuhi tugasnya dalam merumuskan ajaran Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Pakistan. Keterlibatan Rahman dalam arus pemikiran Islam dapat ditandai oleh beberapa artikel yang ia tulis pada jurnal Islamic Studies pada bulan Maret 1962 hingga Juni 1963. Menurut Açikgenç (dalam Saleh 2007: 27), sebenarnya pada periode kedua ini Rahman sudah berkeinginan mengembangkan metodologi yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Alquran dan Hadis.
Mutiara-mutiara pemikiran yang berhasil dihasilkan oleh Rahman pada periode ini diantaranya Islamic Methodology in History (1965), dan Islam (1966). Buku yang disebut pertama merupakan kumpulan dari beberapa tulisannya yang dipublikasikan di jurnal Islamic Studies. Artikel-artikel dalam buku ini ditulis dengan bertujuan untuk memperlihatkan, pertama, evolusi historis dari aplikasi keempat prinisp pokok pemikiran Islam, yakni Alquran, Sunnah, ijtihad, ijma’. Kedua, perranan aktual dari prinsip-prinsip tersebut bagi perkembangan Islam (Rahman, 1995: ix).
Buku kedua Rahman yang lahir pada peridoe kedua ini ialah berjudul Islam. Buku ini memaparkan perkembangan umum agama Islam selama empat belas abad, oleh karena itu menjadi wajar ketika buku ini menjadi dasar pengantar umum tentang studi Islam. Dua buah artikel pertama yang tersusun dalam buku ini , yakni artikel yang berjudul Muhammad dan Alquran, ketika dipublikasikan di Pakistan sempat menuai berbagai kontroversi. Kontroversi terjadi berkenaan padangan Rahman mengenai hakikat Alquran dan proses pewahyuannya kepada Muhammad saw. Rahman memandang bahwa Alquran secara keseluruhannya adalah kalam Allah swt. dan dalam artian biasa merupakan perkataan Muhammad saw (Rahman, 2003: 33). Adapaun tulisan-tulisan Rahman yang difokuskan untuk memberi definisi Islam di Pakistan diantaranya ialah Some Reflection on the Reconstruction of Muslim Society in Pakistan, Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistan Milieu, dan The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems.
Perkembangan dan periode pemikiran Fazlur Rahman berikutnya ialah periode Chicago yang terhitung dari kepindahannya ke Chicago. Seluruh karya Rahman yang dihasilkan pada periode ini mencakup kajian Islam historis dan normatif. Adapun karya-karya yang berhasil ia hasilkan pada periode ini diantaranya The Philosophy of Mulla Shadra, Major Themes of The Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, dan Health and Medicine in Islamic Tradition.
Buku yang pertama penulis sebut di atas murni merupakan karya yang bertemakan Islam historis dan tidak memiliki hubungan dalam kajian-kajian Islam normatif. Sedangkan buku kedua karya Rahman pada periode kedua ini membahas mengenai delapan tema pokok Alquran, yakni Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia Anggota Masyarakat, Alam Semesta, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, serta Lahirnya Masyarakat Muslim. Buku yang kerap kali disebut sebagai magum opus Fazlur Rahman ini mengkaji pelbagai ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan tema-tema yang telah disebut sebelumnya dan kemudian ditafsirkan dengan cara menghubungkan ayat-ayat tersebut. Selain itu, buku karya Rahman ini merupakan sikap atau tanggapannya atas pelabagai buku atau tulisan yang dibuat oleh para orientalis (seperti Richard Bell, Montgomery Watt, John Wansbrough, dal lain sebagainya) yang kerap kali menghubungkan atau beranggapan bahwa Alquran merupakan kelanjutan atau terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang pernah ada sebelumya (seperti Yahudi dan Nasrani). Melalui karya ini, Rahman berhasil membangun landasan filosofis yang terga untuk perenungan kembali makna dan pesan Alquran bagi kaum Muslim kontemporer.
Buku berikutnya yang Rahman hasilkan pada periode Chicago ini ialah Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition. Buku ini sangat jelas memperlihatkan intensitas Rahman dalam menata masa depan Islam dan umatnya. Dengan demikian, buku ini tidak melulu membahas Islam historis yang tidak memberikan solusi kongkrit bagi pembangunan umat Islam dan bekal untuk umat Islam dalam menghadapi periode modern. Berikutnya ialah buku yang berjudul Helath and Medicine in Islamic Tradition, buku ini berusaha menangkap kaitan organis antara Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia.
Setelah mengkaji perkembangan pemikiran Rahman yang didasarkan pada buku-buku yang ia hasilkan sepanjang karir intelektualitasnya, maka dapat dikatakan bahwa Rahman mengalami perubahan concern pemikiran serta kajiannya. Perubahan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh kesadaran Rahman bahwa Islam dewasa ini tengah menghadapi krisis yang sebagian akarnya terdapat dalam Islam sejarah, pengaruh-pengaruh Barat dengan tantangan-tantangan modernitasnya, kemudian membuatnya berupaya membuat atau merumuskan soluai terhadap krisis tersebut (Amal, 1996: 148-149).
Secara keseluruhan buku-buku yang Rahman hasilkan berjumlah sepuluh buah. Namun demikian, bukan berarti bahwa Fazlur Rahman hanya menghasilkan buku-buku an sich. Sepanjang karir intelektualitasnya, doctor lulusan Oxford University tersebut menulis pelbagai artikel di beberapa jurnal ilmiah dan sebagian dari artikel-artikel tersebut dikumpulkan menjadi beberapa buku. Adapun buku-buku yang dihasilkan olehnya ialah sebagai berikut.
  1. Avicenna’s Psycology
  2. Propecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy
  3. Avicennas’s De Anima, being the Psycological Part of Kitab al Shifa
  4. The Philosophy of Mulla Shadra
  5. Islamic Methodology in History
  6. Islam
  7. Major Times of the Qur’an
  8. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition
  9. Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism
  10. Health and Medicine in Islamic Tradition
Demikian Sahabat binsani yang budiman. semoga dengan artikel di atas dapat menambah wawasan para sahabat sekalian.


“Jangan lupa Follow melalui email anda untuk selalu mendapat update dari kami”
Sumber :

http://pendidikanislam95.blogspot.co.id/2017/01/tokoh-tokoh-pembaharuan-dunia-islam.html

No comments: